BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Tauhid adalah mengesakan Allah dalam
hal-hal yang menjadi kekhususan diri-Nya. Kekhususan itu meliputi perkara
Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma’ wa sifat. Tauhid sendiri berasal dari Bahasa
Arab “ wahhada-yuwahhidu-tauhiidan”, artinya mengesakan atau menunggalkan dari
sekian banyak yang ada. Adapun ilmu tauhid adalah ilmu yang mempelajari
mengenai kepercayaan tentang Tuhan dengan segala segi-seginya, yang berarti
termasuk didalamnya soal wujud-Nya, ke-Esaan-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Syeh M.
Abduh mengatakan bahwa, ilmu tauhid (ilmu kalam) adalah ilmu yang membicarakan
wujud Tuhan, sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh ada
pada-Nya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada-Nya; membicarakan
tentang Rosul, untuk menetapkan keutusan mereka, sifat-sifat yang boleh
dipertautkankepada mereka, dan sifat-sifat yang tidak mungkin terdapat pada
mereka (Hanafi, 2003: 2).
Pada dasarnya manusia dari sejak
lahir berada dalam fitrahnya yaitu, bertauhid. Namun sesuai perkembangan
lingkungan dan orang tuanyalah yang menentukan selanjutnya. Banyak orang yang
beriman namun tanpa didasari pengetahuan yang memadai. Mereka beribadah namun
ada saja yang masih menyimpang dari ketauhidannya. Apalagi mereka yang berada
di penjuru kampung yang masih banyak mempercayai pohon-pohon yang besar, batu-batuan
yang besar, dan lain sebagainya.
Berangkat dari uraian diatas kami
berupaya untuk menjelaskan mengenai ilmu tauhid dan perangkatnya.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut, rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apa pengertian tauhid dan ilmu tauhid?
2. Bidang pembahasan apa saja dalam ilmu tauhid?
3. Apa saja tingkatan tauhid itu?
4. Bagaimana Tingkatan ilmu tauhid di antara ilmu yang lain?
1.3 Tujuan
Masalah
Secara umum tujuan makalah ini
adalah untuk memperoleh gambaran mengenai Ilmu Tauhid.
Adapun secara khusus, tujuan makalah
ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk menjelaskan pengertian tauhid dan ilmu tauhid
2. Untuk menjelaskan bidang pembahasan apa saja dalam ilmu
tauhid
3. Untuk menjelaskan apa saja tingkatan tauhid
4. Untuk menjelaskan bagaimana tingkatan ilmu tauhid diantara
ilmu yang lain
1.4 Manfaat
Adapun manfaat makalah ini adalah
untuk menambah pengetahuan dan khazanah mengenai ketauhidan dan
perangkat-perangkatnya.
1.5 Metode
Makalah ini disusun dengan
mengumpulkan referensi kajian pustaka dari buku dan dari alat elektronik
bertaraf Internasional yaitu internet.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN
ILMU TAUHID, BIDANG PEMBAHASAN ILMU TAUHID, TINGKATAN TAUHID DAN KEUTAMAAN
MEMPELAJARI ILMU TAUHID
2.1 Pengertian Tauhid dan Ilmu
Tauhid
Tauhid merupakan masdar/kata benda
dari kata yang berasal dari bahasa arab yaitu “wahhada-yuwahhidu-tauhiidan”
yang artinya menunggalkan sesuatu atau keesaan. Yang dimaksud disini adalah
mempercayai bahwa Allah itu esa. Sedangkan secara istilah ilmu Tauhid ialah
ilmu yang membahas segala kepercayaan-kepercayaan yang diambil dari dalil dalil
keyakinan dan hukum-hukum di dalam Islam termasuk hukum mempercayakan Allah itu
esa.
Menurut Syeh M, Abduh, ilmu tauhid
(ilmu kalam) ialah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan, sifat-sifat yang
mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh ada pada-Nya; membicarakan tentang
Rosul, untuk menetapkan keutusan mereka, sifat-sifat yang boleh dipertautkan
kepada mereka, dan sifat-sifat yang tidak mungkin terdapat pada mereka.
(Hanafi, 2003: 2).
Ilmu tauhid adalah sumber semua
ilmu-ilmu keislaman, sekaligus yang terpenting dan paling utama. Allah SWT
berfirman:
فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa
sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.” (Q.S.
Muhammad: 19)
Seandainya ada orang tidak
mempercayai keesaan Allah atau mengingkari perkara-perkara yang menjadi dasar
ilmu tauhid, maka orang itu dikatagorikan bukan muslim dan digelari kafir.
Begitu pula halnya, seandainya seorang muslim menukar kepercayaannya dari
mempercayai keesaan Allah, maka kedudukannya juga sama adalah kafir.
Perkara dasar yang wajib dipercayai
dalam ilmu tauhid ialah perkara yang dalilnya atau buktinya cukup terang dan
kuat yang terdapat di dalam Al Quran atau Hadis yang shahih. Perkara ini tidak
boleh dita’wil atau ditukar maknanya yang asli dengan makna yang
lain. (http://orgawam.wordpress.com/2012/11/07/definisi-tauhid-dan-ilmu-tauhid/).
· Penamaan Ilmu Tauhid:
Ilmu Tauhid juga disebut;
1. Ilmu ‘Aqa’id: ‘Aqdun artinya tali atau pengikat. ‘Aqa’id
adalah bentuk jama’ dari ‘Aqdun. Disebut ‘Aqa’id, karena didalamnya mempelajari
tentang keimanan yang mengikat hati seseorang dengan Allah, baik meyakini
wujud-Nya, ke-Esaan-Nya atau kekuasaan-Nya.
2. Ilmu Kalam: kalam artinya pembicaraan. Disebut ilmu kalam,
karena dalam ilmu ini banyak membutuhkan diskusi, pembahasan,
keterangan-keterangan dan hujjah (alasan) yang lebih banyak dari ilmu lain.
3. Ilmu Ushuluddin: Ushuluddin artinya pokok-pokok agama.
Disebut Ilmu Ushuluddin, karena didalamnya membahas prinsip-prinsip ajaran
agama, sedang ilmu yang lainnya disebut furu’ad-Din (cabang-cabang agama), yang
harus berpijak diatas ushuluddin.
4. Ilmu Ma’rifat: ma’rifat artinya pengetahuan. Disebut ilmu
ma’rifat, karena didalamnya mengandung bimbingan dan arahan kepada kepada umat
manusia untuk mengenal khaliqnya. (Zakaria, 2008:1)
· Sebab-sebab dinamakan ilmu kalam ialah karena:
1. Persoalan yang terpenting diantara pembicaraan-pembicaran
masa-masa pertama Islam ialah Firman Tuhan (Kalam Allah), yaitu Qur’an apakah
azali atau non-azali. Karena itu keseluruhan isi Ilmu kalam dinamai dengan
salah satu bagian yang terpenting.
2. Dalam Ilmu Kalam ialah dalil-dalil akal pikiran di mana
pengaruhnya tampak jelas pada pembicaraan ulama-ulama kalam, sehingga mereka
kelihatan sebagai ahli bicara. Dalil Naqli (Qur’an dan Hadits) baru dipakai
sesudah mereka menetapkan kebenaran persoalan dari segi akal pikiran.
3. Pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika
dalam filsafat. Untuk dibedakan dengan logika, maka pembuktian-pembuktian
tersebut dinamai “Ilmu Kalam”. (Hanafi, 2003: 5)
· Hakikat Tauhid
Seluruh manusia terlahir ke dunia
ini dalam keadaan fitrahnya, yakni bertauhid. Sebagaimana yang di terangkan
dalam ayat Q. S. Ar-Rum: 30.
Artinya: “Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama Islam; sesuai fitrah Allah disebabkan Dia
telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada
ciptaan Allah. (Itulah) Agama yang lurus, tetapi kebanyakan menusia tidak
mengetahui.” (Q.S. ar-Rum:30)
Manusia
pada dasarnya memerlukan suatu bentuk kepercayaan kepada sesuatu yang gaib,
sebab itulah ia disebut makhluk religius, yaitu makhluk yang memiliki bawaaan
primordial (azali) untuk beragama dan percaya kepada Tuhan. Inilah fitrah
manusia yang secara otomatis memiliki potensi bertuhan sejak kelahirannya.
Rasulullah saw. Bersabda:
Artinya: “setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah (bertauhid). Kedua oangtua nyalah yang menjadikannya
seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Untaian
kata-kata tauhid dalam Islam dinyatakan dalam kalimat “laa ilaaha ilallaah”,
Allah sebagai satu-satunya Tuhan.
· Implikas Tauhid
Tauhid dalam Islam yang diekspresikan dengan kalimat “laa
ilaaha ilallah” merupakan titik tolak untuk membebaskan belenggu. Tauhid ini
pula yang membebaskan manusia dari belenggu manusia lainnya, dari penyembahan
terhadap rasio dan mental, serta dari sikap hidup materialistis.
Tauhid juga membebaskan manusia dari
kependetaan dan hiruk pikuk dunia. Jadi, tauhid mengandung pengertian bahwa
manusia tidak membutuhkan apa-apa selain Allah, sehingga seseorang yang beriman
diberi kemulyaan dan kepuasan sebagai hamba yang bebas dan benar-benar
terhormat.
Sudah
jelaslah bahwa konsep tauhid “laa ilaaha ilallaah” mempunyai implikasi begitu
revolusioner berupa pembebasan. Ia meniadakan otoritas, apapun bentuknya, untuk
berhubungan dengan Allah swt. Sehingga manusia terbebas dari perbudakan mental
dan penyembahan sesama makhluk. Allah swt., sudah jelas dekat dengan siapapun.
Firman Allah swt.
Artinya : “dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku
dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila dia berdosa
kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi perintah-Ku, agar mereka memperoleh
kebenaran. (Q.S. al-Baqarah: 186)
Inilah
diantara hakikat tauhid “laa ilaaha ilallaah”. Apabila setiap orang mempunyai
tauhid yang benar dan memahami tentang dirinya yang bebas dari belenggu apapun
selain Allah swt., maka seharusnya ia dapat bekerja dan berkarya lebih baik
tanpa gangguan pemikiran-pemikiran khurafat dan takhayul yang justru
menghalangi etos kerja dan karya bagi kehidupan manusia. (Ismail, 2008: 10-23)
2.2 Bidang Pembahasan Ilmu Tauhid
Tauhid mempunyai beberapa
pembahasan diantaranya ada 6 yakni:
1. Iman kepada Allah, tauhid kepada-Nya, dan ikhlash beribadah
hanya untuk-Nya tanpa sekutu apapun bentuknya.
2. Iman kepada rasul-rasul Allah para pembawa petunjuk ilahi,
mengetahui sifat-sifat yang wajib dan pasti ada pada mereka seperti jujur dan
amanah, mengetahui sifat-sifat yang mustahil ada pada mereka seperti dusta dan
khianat, mengetahui mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan mereka, khususnya
mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan Nabi Muhammad saw.
3. Iman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para
nabi dan rasul sebagai petunjuk bagi hamba-hamba-Nya sepanjang sejarah manusia
yang panjang.
4. Iman kepada malaikat, tugas-tugas yang mereka laksanakan,
dan hubungan mereka dengan manusia di dunia dan akhirat.
5. Iman kepada hari akhir, apa saja yang dipersiapkan Allah
sebagai balasan bagi orang-orang mukmin (surga) maupun orang-orang kafir
(neraka).
6. Iman kepada takdir Allah yang Maha Bijaksana yang mengatur
dengan takdir-Nya semua yang ada di alam semesta ini.
Allah swt berfirman:
“آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ
إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ
وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
Artinya: “Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (QS: Al-Baqarah: 285)
Artinya: “Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (QS: Al-Baqarah: 285)
Rasulullah saw. ditanya tentang
iman, lalu beliau pun menjawab;
أنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.
Artinya: “Iman adalah engkau membenarkan dan meyakini Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan taqdir baik maupun buruk.” (HR. Muslim).
أنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.
Artinya: “Iman adalah engkau membenarkan dan meyakini Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan taqdir baik maupun buruk.” (HR. Muslim).
2.3 Tingkatan Tauhid
Baik tauhid maupun kemusyrikan ada
tingkatan dan tahapannya masing-masing. Sebelum kita melewati semua tahap dalam
tauhid, kita belum dapat menjadi pengikut atau ahli tauhid (muwahhid) yang
sejati.
Adapun tingkatan tauhid adalah
sebagai berikut.
a.Tauhid Zat Allah
Yang dimaksud dengan tauhid
(keesaan) Zat Allah adalah, bahwa Allah Esa dalam Zat-Nya. Kesan pertama
tentang Allah pada kita adalah, kesan bahwa Dia berdikari. Dia adalah Wujud
yang tidak bergantung pada apa dan siapa pun dalam bentuk apa pun. Dalam bahasa
Al-Qur'an, Dia adalah Ghani (Absolut). Segala sesuatu bergantung pada-Nya dan
membutuhkan pertolongan-Nya. Dia tidak membutuhkan segala sesuatu. Allah
berfirman:
Hai manusia, kamulah yang
membutuhkan Allah. Dan Allah, Dialah Yang Maha Kaya (tidak membutuhkan apa pun)
lagi Maha Terpuji. (QS.
Fâthir: 15)
Kaum filosof menggambarkan Allah
sebagai eksis sendiri, atau sebagai wujud yang eksistensinya wajib. Kesan kedua
tentang Allah pada setiap orang adalah, bahwa Allah adalah Pencipta. Dialah
Pencipta dan sumber final dari segala yang ada. Segala sesuatu adalah
"dari-Nya". Dia bukan dari apa pun dan bukan dari siapa pun. Menurut
bahasa filsafat, Dia adalah "Sebab Pertama".
Inilah konsepsi pertama setiap orang
tentang Allah. Setiap orang berpikir tentang Allah. Dan ketika berpikir tentang
Allah, dalam benaknya ada konsepsi ini. Kemudian dia melihat apakah sebenarnya
ada suatu kebenaran, kebenaran yang tidak bergantung pada kebenaran lain, dan
yang menjadi sumber dari segala kebenaran.
Arti dari Tauhid Zat Allah adalah
bahwa kebenaran ini hanya satu, dan tak ada yang menyerupai-Nya. Al-Qur'an
memfirmankan:
Tak ada yang menyamai-Nya. (QS. asy-Syûrâ: 11)
Dan tak ada yang menyamai-Nya. (QS. al-Ikhlâsh: 4)
Kaidah bahwa sesuatu yang ada selalu
menjadi bagian dari spesies, hanya berlaku pada ciptaan atau makhluk saja.
Misal, jika sesuatu itu bagian dari spesies manusia, maka dapat dibayangkan
bahwa sesuatu itu adalah anggota dari spesies manusia ini. Namun untuk Wujud
Yang Ada Sendiri, kita tidak dapat membayangkan seperti itu. Dia berada di luar
semua pikiran seperti itu. Karena kebenaran yang ada Sendiri itu satu, maka
sumber dan tujuan alam semesta hanya satu. Alam semesta bukanlah berasal dari
berbagai sumber, juga tidak akan kembali ke berbagai sumber. Alam semesta
berasal dari satu sumber dan satu kebenaran. Allah berfirman:
Katakanlah: "Allah adalah
Pencipta segalanya." (QS. ar-Ra'd: 16)
Segala sesuatu akan kembali ke
sumber yang satu dan kebenaran yang satu. Kata Al-Qur'an,
Ingatlah bahwa kepada Allah lah
kembali segala sesuatu. (QS.
asy-Syûrâ: 53)
Dengan kata lain, alam semesta
memiliki satu pusat, satu kutub dan satu orbit. Hubungan antara Allah dan alam
semesta adalah hubungan Pencipta dan makhluk, yaitu hubungan sebab dan akibat,
bukan jenis hubungan antara sinar dan lampu, atau antara kesadaran manusia dan
manusia.
Betul bahwa Allah tidak terpisah
dari alam semesta. Dia bersama segala sesuatu. Al-Qur'an memfirmankan:
Dia bersamamu di mana pun kamu
berada. (QS. al-Hadîd: 4)
Namun demikian, ketidakterpisahan
Allah dari alam semesta tidaklah berarti bahwa Dia bagi alam semesta adalah
seperti sinar bagi lampu atau seperti kesadaran bagi tubuh. Kalau demikian
halnya, maka Allah merupakan efek dari alam semesta, bukan sebab dari alam semesta,
karena sinar adalah efek dari lampu. Begitu pula, ketidakterpisahan Allah dari
alam semesta tidaklah berarti bahwa Allah, alam semesta dan manusia memiliki
orientasi yang sama, dan semuanya eksis dengan kehendak dan semangat yang sama.
Semua ini adalah sifat makhluk yang adanya karena sesuatu yang lain. Allah
bebas dari semua itu. Al-Qur'an memfirmankan:
Mahasuci Tuhanmu yang mempunyai
keperkasaan dari apa yang mereka katakan.
(QS. ash-Shâffât: 180)
b. Tauhid dalam Sifat-sifat Allah
Tauhid Sifat-sifat Allah artinya
adalah mengakui bahwa Zat dan Sifat-sifat Allah identik, dan bahwa berbagai
Sifat-Nya tidak terpisah satu sama lain. Tauhid Zat artinya adalah menafikan
adanya apa pun yang seperti Allah, dan Tauhid Sifat-sifat-Nya artinya adalah
menafikan adanya pluralitas di dalam Zat-Nya. Allah memiliki segala sifat yang
menunjukkan kesempurnaan, keperkasaan dan ke-indahan, namun dalam
Sifat-sifat-Nya tak ada segi yang benar-benar terpisah dari-Nya. Keterpisahan
zat dari sifat-sifat dan keterpisahan sifat-sifat dari satu sama lain merupakan
ciri khas keterbatasan eksistensi, dan tak mungkin terjadi pada eksistensi yang
tak terbatas. Pluralitas, perpaduan dan keterpisahan zat dan sifat-sifat tak
mungkin terjadi pada Wujud Mutlak.
Seperti Tauhid zat Allah, tauhid
sifat-sifat Allah merupakan doktrin Islam dan salah satu gagasan manusiawi yang
paling bernilai, yang semata-mata mengkristal dalam mazhab syiah. Disini kami
kutipkan sebuah kalimat dalam khotbah pertama “Nahj al-balaghah” yang
membenarkan sekaligus menjelaskan gagasan ini :
“segala puji bagi Allah. Tak ada
ahli pidato ahli bicara pun yang dapat memuji-Nya dengan memadai. Rahmat dan
berkah-Nya tak dapat di hitung oleh ahli hitung sekalipun. Yang paling
perhatian sekalipun tak dapat menyembah dengan semestinya. Dia tak dapat di
mengerti sepenuhnya, sekalipun luar biasa kecerdasan tersebut sifat-sifat-Nya
tak dibatasi oleh pembatas apapun. Tak ada kata yang yang dapat
menggambarkan-Nya dengan utuh.”
Seperti kita tahu, dalam kalimat di
atas digarisbawahi ketidakterbatasan sifat-sifat Allah. Dalam khotbah itu juga,
setelah beberapa kalimat, Iman ali bin abi thalib as berkata:
“sebenar-benar ketaatan kepada-Nya
artinya adalah menafikan pengaitan sifat-sifat kepada-Nya, karena pihak yang
dikaiti sifat menunjukan bahwa pihak tersebut beda dengan sifat yang dikaitkan
kepada-Nya, dan setiap sifat-Nya menujukan bahwa sifat tersebut beda dengan
pihak tersebut. Barang siapa mengaitkan sifat kepada Allah berarti dia
menyamakan-Nya (dengan sesuatu), dan barang siapa menyamakan-Nya” (Lihat Nahj
al-balaghah, khotbah 1, hal.137.ISP.1984)
Dalam kaliamat pertama ditegaskan
bahwa Allah memiliki sifat-sifat (yang sifat-sifat Nya tak di batasi oleh
batas-batas). Dalam kalimat kedua juga ditegaskan bahwa Dia memiliki
sifat-sifat, namun diperintahkan untuk tidak mengaitkan sifat-sifat kepada Nya.
Redaksi kalimat-kalimat ini
menunjukkan bahwa Sifat-sifat yang dimiliki-Nya tak terbatas seperti halnya
ketakterbatasan diri-Nya sendiri, bahwa Sifat-sifat yang dimiliki-Nya identik
dengan Zat-Nya, dan sifat-sifat yang tak dimiliki-Nya adalah sifat-sifat yang
terbatas dan terpisah dari Zat-Nya dan terpisah satu sama lain. Dengan
demikian, Tauhid dalam Sifat-sifat Allah artinya adalah mengakui bahwa Zat
Allah dan Sifat-sifat-Nya adalah satu.
c. Tauhid dalam Perbuatan Allah
Arti Tauhid dalam perbuatan-Nya
adalah mengakui bahwa alam semesta dengan segenap sistemnya, jalannya, sebab
dan akibatnya, merupakan perbuatan Allah saja, dan terwujud karena
kehendak-Nya. Di alam semesta ini tak satu pun yang ada sendiri. Segala sesuatu
bergantung pada-Nya. Dalam bahasa Al-Qur'an, Dia adalah pemelihara alam
semesta. Dalam hal sebab-akibat, segala yang ada di alam semesta ini
bergantung. Maka dari itu, Allah tidak memiliki sekutu dalam Zat-Nya, Dia juga
tak memiliki sekutu dalam perbuatan-Nya. Setiap perantara dan sebab ada dan
bekerja berkat Allah dan bergantung pada-Nya. Milik-Nya sajalah segala kekuatan
maupun kemampuan untuk berbuat.
Manusia merupakan satu di antara
makhluk yang ada, dan karena itu merupakan ciptaan Allah. Seperti makhluk
lainnya, manusia dapat melakukan pekerjaannya sendiri, dan tidak seperti
makhluk lainnya, manusia adalah penentu nasibnya sendiri. Namun Allah sama
sekali tidak mendelegasikan Kuasa-kuasa-Nya kepada manusia. Karena itu manusia
tidak dapat bertindak dan berpikir semaunya sendiri, "Dengan kuasa Allah
aku berdiri dan duduk. "
Percaya bahwa makhluk, baik manusia
maupun makhluk lainnya, dapat berbuat semaunya sendiri, berarti percaya bahwa
makhluk tersebut dan Allah sama-sama mandiri dalam berbuat.
Karena mandiri dalam berbuat berarti
mandiri dalam zat, maka kepercayaan tersebut bertentangan dengan keesaan Zat
Allah (Tauhid dalam Zat), lantas apa yang harus dikatakan mengenai keesaan
perbuatan Allah (Tauhid dalam Perbuatan).
Dan katakanlah, "Segala puji
bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam
kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dan kehinaan.
Karma itu, agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya. (QS. al-Isrâ': 111)
d. Tauhid dalam Ibadah
Tiga tingkatan Tauhid yang
dipaparkan di atas sifatnya teoretis dan merupakan masalah iman. Ketiganya
harus diketahui dan diterima. Namun Tauhid dalam ibadah merupakan masalah
praktis, merupakan bentuk "menjadi". Tingkatan-tingkatan tauhid di atas
melibatkan pemikiran yang benar. Tingkat keempat ini merupakan tahap menjadi
benar. Tahap teoretis tauhid, artinya adalah memiliki pandangan yang sempurna.
Tahap praktisnya artinya adalah berupaya mencapai kesempurnaan. Tauhid teoretis
artinya adalah memahami keesaan Allah, sedangkan tauhid praktis artinya adalah
menjadi satu. Tauhid teoretis adalah tahap melihat, sedangkan tauhid praktis
adalah tahap berbuat. Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang tauhid praktis,
perlu disebutkan satu masalah lagi mengenai tauhid teoretis. Masalahnya adalah
apakah mungkin mengetahui Allah sekaligus dengan keesaan Zat-Nya, keesaan
Sifat-sifat-Nya dan keesaan perbuatan-Nya, dan jika mungkin, apakah pengetahuan
seperti itu membantu manusia untuk hidup sejahtera dan bahagia; atau dan
berbagai tingkat dan tahap tauhid, hanya tauhid praktis saja yang bermanfaat.
Sejauh menyangkut kemungkinan
mendapat pengetahuan seperti itu, sudah kami bahas dalam buku kami
"Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realisme". Apakah pengetahuan
seperti itu bermanfaat atau justru sebaliknya, itu tergantung pada konsepsi
kita sendiri mengenai manusia, kesejahteraan dan kebahagiaannya. Gelombang
pemikiran materialistis di zaman modern ini bahkan menyebabkan kaum yang
beriman kepada Allah menganggap tak banyak manfaatnya masalah-masalah yang
berkaitan dengan pengetahuan tentang Allah. Mereka memandang masalah-masalah
seperti itu sebagai semacam manuver mental dan pelarian dari problem-problem
praktis kehidupan. Namun seorang Muslim yang percaya bahwa realitas manusia
bukanlah realitas jasmaninya saja, namun realitas sejati manusia adalah
realitas spiritualnya dan bahwa hakikat roh manusiawi adalah hakikat
pengetahuan dan kesuciannya, tahu betul bahwa apa yang disebut sebagai tauhid
teoretis itu sendiri, selain merupakan dasar dari tauhid praktis, merupakan
kesempumaan psikologis yang paling tinggi tingkatannya. Tauhid ini mengangkat
manusia, membawa manusia menuju Kebenaran Ilahiah, dan membuat manusia menjadi
sempurna. Allah SWT berfirman:
Kepada-Nya naik kata-kata yang baik,
dan amal saleh dinaikkan-Nya. (QS.
Fâthir: 10)
Sisi manusiawi manusia ditentukan
oleh pengetahuannya tentang Allah. Pengetahuan manusia bukanlah sesuatu yang
terpisah dari manusia itu sendiri. Semakin tahu manusia itu tentang alam
semesta, sistemnya dan asal-usulnya, semakin berkembang sisi manusiawi manusia
tersebut, yang lima puluh persen substansi sisi manusiawi itu berupa
pengetahuan. Dari sudut pandang Islam, khususnya ajaran Syiah, tak ada keraguan
sedikit pun bahwa tujuan sisi manusiawi itu sendiri adalah mengetahui tentang
Allah, tak soal dengan efek praktis dan sosialnya.
Sekarang kita bahas masalah tauhid
praktis. Tauhid praktis atau tauhid ibadah, artinya adalah hanya menyembah atau
beribadah kepada Allah saja. Dengan kata lain, tulus ikhlas dalam beribadah
kepada Allah.
Kemudian akan kami jelaskan bahwa
dari sudut pandang Islam, ibadah ada tingkatan-tingkatannya. Tingkatannya yang
sangat jelas adalah menunaikan ritus-ritus yang berkaitan dengan penyucian dan
pengagungan Allah. Kalau ritus-ritus seperti itu dilakukan untuk selain Allah,
artinya adalah keluar total dari Islam. Namun demikian, dari sudut pandang
Islam, ibadah bukan hanya tingkatan yang ini saja. Setiap bentuk orientasi
spiritual dan menerima sesuatu sebagai ideal spiritual, maka hal itu tergolong
ibadah. Al-Qur'an memfirmankan:
Terangkanlah kepadaku tentang orang
yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. (QS. al-Furqân: 43)
Kalau kita menaati seseorang yang
telah dilarang Allah untuk ditaati, dan tunduk patuh sepenuhnya kepadanya,
berarti kita menyembah atau beribadah kepada orang itu.
Al-Qur'an mengatakan,
Mereka menjadikan para rabbi dan
rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah.
(QS. at-Taubah: 31)
Dan tidak pula sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. (QS. Âli 'Imrân: 64)
Dengan demikian tauhid praktis atau
tauhid ibadah, artinya adalah menerima Allah saja sebagai yang layak untuk
ditaati tanpa pamrih, memandang hanya Dia saja yang menjadi ideal dan arah
perilaku, dan menolak selain-Nya serta menganggap selain-Nya tidak layak
ditaati tanpa pamrih, atau tidak layak untuk dijadikan ideal. Tauhid ibadah
artinya adalah tunduk kepada Allah saja, bangkit untuk-Nya saja, dan hidup
untuk-Nya saja, serta mati untuk-Nya saja.
(Nabi Ibrahim berkata): "Sesungguhnya
aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang mendptakan langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang yang
mempersekutukan Tuhan"... Katakanlah, "Sesungguhnya sembahyangku,
ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada
sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku
adalah orang yang pertama tunduk patuh kepada-Nya." (QS.
al-An'am: 79, 162-163)
Tauhid Nabi Ibrahim ini merupakan
Tauhid praktis atau Tauhid ibadah. Inilah yang divisualisasikan oleh iman ini:
"La ilaha illallah" (tiada Tuhan selain Allah). (Muthahhari,
Murtadha. 2002: 69-73)
2.4 Kedudukan Ilmu Tauhid di Antara Semua Ilmu
Kemuliaan suatu ilmu tergantung pada
kemulian tema yang dibahasnya. Ilmu kedokteran lebih mulia dari teknik
perkayuan karena teknik perkayuan membahas seluk beluk kayu sedangkan
kedokteran membahas tubuh manusia. Begitu pula dengan ilmu tauhid, ini ilmu
paling mulia karena objek pembahasannya adalah sesuatu yang paling mulia.
Adakah yang lebih agung selain Pencipta alam semesta ini? Adakah manusia yang
lebih suci daripada para rasul? Adakah yang lebih penting bagi manusia selain
mengenal Rabb dan Penciptanya, mengenal tujuan keberadaannya di dunia, untuk
apa ia diciptakan, dan bagaimana nasibnya setelah ia mati?
Apalagi ilmu tauhid adalah sumber
semua ilmu-ilmu keislaman, sekaligus yang terpenting dan paling utama.
Karena itu, hukum mempelajari ilmu
tauhid adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim dan muslimah sampai ia betul-betul
memiliki keyakinan dan kepuasan hati serta akal bahwa ia berada di atas agama
yang benar. Sedangkan mempelajari lebih dari itu hukumnya fardhu kifayah,
artinya jika telah ada yang mengetahui, yang lain tidak berdosa. Allah swt.
berfirman,
فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa
sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.” (Muhammad: 19)
Al-Quran adalah Kitab Tauhid
Terbesar
Sesungguhnya pembahasan utama
Al-Quran adalah tauhid. Kita tidak akan menemukan satu halaman pun yang tidak
mengandung ajakan untuk beriman kepada Allah, rasul-Nya, atau hari akhir,
malaikat, kitab-kitab yang diturunkan Allah, atau taqdir yang diberlakukan bagi
alam semesta ini.
Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir
seluruh ayat Al-Quran yang diturunkan sebelum hijrah (ayat-ayat Makkiyyah)
berisi tauhid dan yang terkait dengan tauhid.
Karena itu tak heran masalah tauhid
menjadi perhatian kaum muslimin sejak dulu, sebagaimana masalah ini menjadi
perhatian Al-Quran. Bahkan, tema tauhid adalah tema utama dakwah mereka. Umat
Islam sejak dahulu berdakwah mengajak orang kepada agama Allah dengan hikmah
dan pelajaran yang baik. Mereka mendakwahkan bukti-bukti kebenaran akidah Islam
agar manusia mau beriman kepada akidah yang lurus ini.
Bagi seorang muslim, akidah adalah
segala-galanya. Tatkala umat Islam mengabaikan akidah mereka yang benar -yang
harus mereka pelajari melalui ilmu tauhid yang didasari oleh bukti-bukti dan
dalil yang kuat– mulailah kelemahan masuk ke dalam keyakinan sebagian besar
kaum muslimin.
Kelemahan akidah akan berakibat pada
amal dan produktivitas mereka. Dengan semakin luasnya kerusakan itu, maka
orang-orang yang memusuhi Islam akan mudah mengalahkan mereka. Menjajah negeri
mereka dan menghinakan mereka di negeri mereka sendiri.
Sejarah membuktikan bahwa umat Islam
generasi awal sangat memperhatikan tauhid sehingga mereka mulia dan memimpin
dunia. Sejarah juga mengajarkan kepada kita, ketika umat Islam mengabaikannnya
akidah, mereka menjadi lemah. Kelemahan perilaku dan amal umat Islam telah
memberi kesempatan orang-orang kafir untuk menjajah negeri dan tanah air umat
Islam.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah membaca dan menganalisis
makna tauhid, pembagian tauhid, arti pentingnya mempelajari tauhid, dan
kewajiban tauhid, penulis dapat menarik kesimpulan:
kewajiban kita layaknya manusia
hanya menyembah kepada Allah SWT saja. Allah swt telah
menciptakan untuk manusia berbagai prasarana berupa alam semesta ini. Semua itu
untuk mewujudkan peribadatan kepada-Nya. Allah juga membantu mereka untuk
mewujudkan peribadahan tersebut dengan limpahan rizki. Sedangkan Allah
tidak membutuhkan imbalan apa pun dari para makhluk-Nya.
Sesungguhnya tauhid tertanam pada
jiwa manusia secara fitroh. Namun asal fitroh ini dirusak oleh bujuk rayu setan
yang memalingkan dari tauhid dan menjerumuskan ke dalam syirik. Para setan baik
dari kalangan jin dan manusia bahu-membahu untuk menyesatkan umat dengan
ucapan-ucapan yang indah.
Sehingga dari hal tersebut dapat di
ambil kesimpulan bahwa makna tauhid adalah asal yang terdapat pada fitroh
manusia sejak dilahirkan. Aplikasi Tauhid bahwasanya berilmu dan
mengetahui serta mengenal tauhid itu adalah kewajiban yang paling pokok &
utama sebelum mengenal yang lainya serta beramal (karena suatu amalan itu
akan di terima jika tauhidnya benar).
3.2 Saran
Dengan penulisan makalah ini
diharapkan pembaca dapat :
·
Memperoleh pengetahuan yang lebih
luas tentang tauhid
·
Lebih mendekatkan diri kepada Allah
·
Meyakini bahwa hanya Allah lah yang
esa
DAFTAR PUSTAKA
M, Hanafi. 2003. Pengantar
Teologi Islam. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru.
Zakaria, A. 2008. Pokok-pokok
Ilmu Tauhid. Garut: IBN AZKA Press.
Ismail, Roni. 2008. Menuju
Hidup Islam. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
Muthahhari, Murtadha. 2002. Manusia
dan Alam Semesta. Jakarta: PT. Lentera basritama.
Suhermawan, Agus. 2012. Pengertian
Ilmu Tauhid. [online]. Tersedia: http://www.kucoba.com/2012/10/pengertian-ilmu-tauhid.html. [09 Februari 2013].
Orgawam. 2012. Definisi Tauhid dan Ilmu Tauhid. [online].
Tersedia:http://orgawam.wordpress.com/2012/11/07/definisi-tauhid-dan-ilmu-tauhid/. [09 Februari 2013]
Hendratno. 2008. Mengenal
Ilmu Tauhid. [online]. Tersedia:http://www.dakwatuna.com/2008/07/824/mengenal-ilmu-tauhid/. [09 Februari 2013]
|
No comments:
Post a Comment